22 Februari 2012 pukul 17:58
Estetika adalah cabang Filsafat yang mempersoalkan
seni dan
keindahan. Istilah
estetika sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata aistheis yang
berarti hal-hal yang bisa dicerap oleh indrawi; atau pencerapan indrawi,
atau juga bisa diartikan perasaan atau sensitivitas. Hal ini memang
karena
keindahan erat sekali hubungannya dengan selera perasaan atau yang dalam bahasa Inggris
“taste”.
Estetika pada sejak zaman Yunani purba dikenal dengan berbagai nama seperti
filsafat seni, filsafat keindahan, filsafat citarasa, dan
filsafat kritisisme.
Istilah estetika sendiri baru lahir atau diperkenalkan pada abad XVIII,
adapun Alexander Gottlieb Baumgarten(17 Juli 1714-26 Mei 1762 seorang
filsur Jerman, yang pertama kali memperkenalkan nama Estetika; sebagai
ilmu pengetahuan indrawi yang tujuannya keindahan, lewat karyanya yang
berjudul
Aesthetica acromatica (1750-1758). Baumgarten sangat berjasa dalam bidang estetik, karena beliaulah yang memperkenalkan istilah “
Aesthetica”
atau estetika. Baumgarten juga yang mengangkat esteika sehingga tidak
lagi merupakan cabang dalam Metafisika; estetika pada awalnya hanya
dianggap merupakan cabang dari Metafisika. Estetika kini sederajat
dengan metafisika dan cabang ilmu lainnya. Selain itu Baumgarten juga
mengarang buku yang berjudul “Aesthetica”, yang terdiri dario 2 jilid.
Meskipun buku ini belum selesai ditulis Baumgarten, namun sangat
memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan estetika.
Dilihat
dari segi historis maka estetika merupakan perkembangan dari Filsafat
Keindahan. Namun pemikiran orang mengenai keindahan sudah ada sejak dulu
kala. Maka, keindahan adalah objek dari estetika. Keindahan dipandang
sebagai salah satu nilai yang senantiasa selalu dikejar oleh manusia, di
samping nilai-nilai lain (nilai kebenaran, nilai kebajikan, dan nilai
kekudusan).
Perkembangan atau Pertumbuhan Estetika
Pertumbuhan/perkembangan
estetika secara garis besar dapat di bedakan dalam tiga periode, yaitu:
1. Periode dogmatis. 2. Periode kritis. 3. Periode positif. Namun
disini akan dikhususkan pada pembasan periode dogmatis; yang menjadi
tonggak dalam peride dogmatis ini adalah Socrates, Plato, Aristoteles,
dan Baumgarten.
- Socrates (469-399 SM)
Socrates
adalah seorang perintis yang meletakan batu pertama bagi fundamental
estetika, sebelum ilmu itu diberi nama. Socrates memberi petunjuk kepada
pemahat dan pelukis tentang bagaimana meletakkan keindahan, karena
Socrates sendiri adalah anak dari seorang pemahat yang bernama
Sophroniscos.
Socrates berpendapat bahwa keindahan dapat
dijelmakan melalui gerakan-gerakan tangan. Dengan gerakan tangan dapat
ditembus sifat-sifat keragaan, sehingga dapat diperoleh keindahan yang
bersifat kejiwaan. Menurut Socrates raga hanyalah pembungkus keindahan;
keindahan yang sejati ada dalam kejiwaan.
Untuk mencapai keindahan
yang sejati manusia harus dapat menebus roh dengan perantara gerakan
tangan. Jalan pikiran yang dipergunakan Socrates dalam mencari hakekat
keindahan mengginakan dialektika”. Socrates berpendapat bahwa keindahan
terdapat di mana-mana: pada tumbuhan, hewan, dan sebagainya; tapi diatas
itu semua berdiri
“keindahan pribadi’ yang bersifat abstrak.
- Plato (427-347 SM)
Menurut Plato keindahan absolut merupakan sumber dari segala penyempurnaan dari pada segala keindahan. Menurut Plato “
cinta”
adalah merupakkan keindahan yang ideal, yang akan mengantarkan kita
pada keindahan absolut. Cinta ciptaan plato ini disebut cinta platonis,
yaitu cinta yang tanpa pamrih. Cinta mempunyai sifat tahan uji, terlepas
dari tercapai atau tidaknya cibta tersebut; di satu pihak cinta itu
timbul dari keinginan untuk mencapai dan memiliki suatu hal, di lain
pihak cinta juga cinta timbul dari adanya harapan, meskipun tidak dapat
mencapai atau memilikinya.
Menurut plato ada 4 tahap cinta:
pertama cinta pada kepada bentuk-bentuk indrawi, yang kemudian disusul
dengan cinta kepada jiwa manusia, kemudian cinta dalam menuntut
pengetahuan dan akhirnya kecintaan dalam mencapai idea. Atau dalam kata
lain ada 4 bentuk kindahan, yaitu:
- Keindahan Jasmani
- Keindahan Moral
- Keindahan akal
- Keindahan Mutlak
Plato berpendapat bahwa seni tertinggi adalah musik, karena musik
memiliki kedudukan yang mutlak dalam negara, yaitu dapat memiliki
pengaruh dalam bidang moral dan politik. Sementara seni-seni yang
lainnya dipandang merupakan suatu bahaya, karena hanya memperhatikan apa
yang ada dalam angan-angan. Plato menolak perkembangan seni yang
mengandung perubahan-perubahan. Masalah pokok seni menurut plato adalah
melanjutkan dan mengejawatkan kembali hasil karya seni nenek moyang.
Perubahan hanyalah akan merendahkan ciptaan nenek moyang yang sebetulnya
merupakan bentuk-bentuk keindahan yang absolut/ilahi.
Plato
berpenpendapat bahwa sei adalah tiruan yang kedua. Misalkan pelukis yang
melukis burung, itu hanya tiruan dari burung yang dilihatnya, sedangkan
burung yang dilihatnya itu hanya tiruan dariyang ada dalam dunia idea.
Menurut Plato, seni itu tidak begitu penting, kendati karya-karya
tulisannya merupakan karya seni sastra yang tidak tertandingi sampai
sekarang. Hal ini juga yang kemudian dibantah oleh muridnya Aristoteles
- Aristoteles (384-322)
Menurut
Aristoteles, keindahan terdiri dari keserasian bentuk yang
setinggi-tingginya. Ia tidak mementingkan pemandangan manusia seperti
apa adanyadi dalam kenyataan tapi menurut sebagaimana seharusnya. Idea
keindahan adalah gambaran dari roh manusia dan keindahan itu bersatu
padu dengan akal manusia. Oleh karena itu seni adalah kemampuan
menciptakan sesuatu hal atas pimpinan akal.
Hubungan Seni dan Alam
Menurut
Aristoteles, seni merupakan tiruan dari alam, tetapi sebenarnya di luar
dari alam. Ciri khas seni adalah mengupas alam dari hakekat yang
sebenarnya. Menurunkan manusia atau meninggikannya, dan ia merupakan
imitasi.
Aristoteles berpendapat bahwakarakter-karakter seniharus
tampak lebih baik dari kenyataannya, sehingga karena keindahannya yang
luar biasa seolah-olah tidak nyata. Seni itu harus sederhana, sehingga
seni itu harus mencari kebaikan dan kesempurnaan. Kedua-duanya ini
mencari keaslian dalam sifatnya yang universal dan mutlak (menuju
keindahan yang mutlak). Keindahan sebagai sesuatu yang lebih baik juga
menyenangkan.
- Alexander gottlieb Baumgarten (1714-1762)
Baumgarten adalah filsuf dari Jerman yang mengikuti pendapat Leibiniz (1646-1716).
Baumgarten menbedakan pengetahuan menjadi dua macam, yaitu:
- Pengetahuan intelektual
- Pengetahuan inderawi
Pengetahuan intelektual disebut juga pengetahuan tegas, sedangkan
pengetahuan inderawi dianggap sebagai pengetahuan yang kabur.
Menurut
Baungarten, estetika adalah pengetahuan tentang inderawi yang tujuannya
adalah keindahan. Tujuan daripada keindahan adalah menyenangkan dan
menimbulkan keinginan. Manifestasi keindahan tertinggi tercermin pada
alam, maka tujuan utama dari seni adalah mencontoh dari alam.
Jasa-jasa Baumgarten dalam dunia estetika adalah:
- Sebagaimana
tadi dikelaskan diatas, dialah yang memperkenalkan istilah Aesthetica.
Kemudian mengangkatnya menjadi cabang tersendiri dari filsafat. Pada
mulanya istilah Aesthetica tidak disambut olehpara cendikiawan, bahkan
ada yang mengecamnya sebagai istilah yang tolol dan tak berguna.
Sekarang ini estetika mempunyai kedudukan yang kokoh dan meliputi study
filsafat maupun ilmiah.
- Mengarang buku yang berjudul “Aesthetica” sebanyak dua jiid.
Walaupun
buku tersebut belum selesai ditulis, tetapi mempunyai pengaruh yang
besar dalam pertumbuhan dan perkembangan estetika di saat itu.
Baumgarten mengemukakan adanya tiga kesempurnaan yang ada dalam dunia ini:
- Kebenaran: kesempurnaan yang diperoleh dengan perantara rasio
- Kebaikan: kesempurnaan yang diperoleh dengan moral
- Keindahan: kesempurnaan yang diperoleh dengan indera
Periode
dogmatis ini adalah periode pertama dalam sejarah perkembangan
estetika. Menurut para tokoh-tokoh di periode ini seni merupakan sebuah
tiruan(imitasi). Dan keindahan yang mutlak adaah keindahan yang telah
mencapai roh/kejiwaan.
Daftar pustaka:
Pustaka utama: Parmono, kartini, Estetik(Filsafat keindahan), Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Pustaka pendukung: Sacrhari, Agus,Estetika; makana, simbol dan daya, Penerbit ITB(ITB Press), Bandung, 2002
Hendrik Rapar, Jan, Pengantar Filsafat, Kanisius,Yogyakarta, 1996